Dari sisi etnis dan budaya daerah sejatinya menunjuk kepada
karaktreristik masing-masing keragaman bangsa Indonesia. Pada sisi yang lain,
karakteristik itu mengandung nilai-nilai luhur memiliki sumber daya kearifan,
di mana pada masa-masa lalu merupakan sumber nilai dan inspirasi dalam strategi
memenuhi kebutuhan hidup, mempertahankan diri dan merajut kesejehteraan
kehidupan mereka. Artinya masing-masing etnis itu memiliki kearifan lokal
sendiri, seperti etnis Lampung yang dikenal terbuka menerima etnis lain sebagai
saudara (adat muari, angkon), etnis Batak juga terbuka, Jawa terkenal dengan
tata-krama dan perilaku yang lembut, etnis Madura dan Bugis memiliki harga diri
yang tinggi, dan etnis Cina terkenal dengan keuletannya dalam usaha. Demikian
juga etnis-etnis lain seperti, Minang, Aceh, Sunda, Toraja, Sasak, Nias, juga
memiliki budaya dan pedoman hidup masing yang khas sesuai dengan keyakinan dan
tuntutan hidup mereka dalam upaya mencapai kesejehtaraan berasma. Beberapa
nilai dan bentuk kearifan lokal, termasuk hukum adat, nilai-nilai budaya dan
kepercayaan yang ada sebagian bahkan sangat relevan untuk diaplikasikan ke
dalam proses pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Kearifan lokal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan
mereka, sehingga prinsip ini mentradisi dan melekat kuat pada kehidupan
masyarakat setempat. Meskipun ada perbedaan karakter dan intensitas hubungan
sosial budayanya, tapi dalam jangka yang lama mereka terikat dalam persamaan
visi dalam menciptakan kehidupan yang bermartabat dan sejahtera bersama. Dalam
bingkai kearifan lokal ini, antar individu, antar kelompok masyarakat saling
melengkapi, bersatu dan berinteraksi dengan memelihara nilai dan norma sosial
yang berlaku.
Keanekaragaman budaya daerah tersebut merupakan potensi
sosial yang dapat membentuk karakter dan citra budaya tersendiri pada
masing-masing daerah, serta merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan
identitas budaya suatu daerah. Di samping itu, keanekaragaman merupakan
kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu
dilestarikan. Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke
arah kehidupan modern serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan
nilai-nilai tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan terhadap
eksistensinya. Hal ini perlu dicermati karena warisan budaya dan nilai-nilai
tradisional tersebut mengandung banyak kearifan lokal yang masih sangat relevan
dengan kondisi saat ini, dan seharusnya dilestarikan, diadaptasi atau bahkan
dikembangkan lebih jauh.
Namun demikian dalam kenyataannya nilai-nilai budaya luhur
itu mulai meredup, memudar, kearifan lokal kehilangan makna substantifnya.
Upaya-upaya pelestarian hanya nampak sekedar pernyataan simbolik tanpa arti,
penghayatan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana diketahui
bahwa pada tahun terakhir, budaya masyarakat sebagai sumber daya kearifan lokal
nyaris mengalami reduksi secara menyeluruh, dan nampak sekadar pajangan
formalitas, bahkan seringkali lembaga-lembaga budaya pada umumnya dimanfaatkan
untuk komersialisasi dan kepentingan kekuasaan.
Kenyataaan tersebut mengakibatkan generasi penerus bangsa
cenderung kesulitan untuk menyerap nilai-nilai budaya menjadi kearifan lokal
sebagai sumber daya untuk memelihara dan meningkatkan martabat dan
kesejahtaraan bangsa. Generasi sekarang semakin kehilangan kemampuan dan
kreativitas dalam memahami prinsip kearifan lokal. Khusus kearifan lokal
Lampung adalah prinsip hidup “Piil Pesenggiri”. Hal ini disebabkan oleh adanya
penyimpangan kepentingan para elit masyarakat dan pemerintah yang cenderung
lebih memihak kepada kepentingan pribadi dan golongan dari pada kepentingan
umum. Kepentingan subyektivitas kearifan lokal ini selalu dimanfaatkan untuk
mendapatkan status kekuasaan dan menimbun harta dunia. Para elit ini biasanya
melakukan pencitraan ideal kearifan lokal di hadapan publik seolah membawa misi
kebaikan bersama. Akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa pada realisasinya
justeru nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya tidak lebih hanya sekedar
alat untuk memperoleh dan mempertahan kekuasaan. Pada gilirannya, masyarakat
luas yang struktur dan hubungan sosial budayanya masih bersifat obyektif
sederhana makin tersesat meneladani sikap dan perilaku elit mereka, juga makin
lelah menanti janji masa depan, sehingga akhirnya mereka pesimis, putus asa dan
kehilangan kepercayaan.
Namun demikian, meski masyarakat cemas bahkan ragu terhadap
kemungkinan nilai-nilai luhur budaya itu dapat menjadi model kearifan lokal,
akan tetapi upaya menggali kearifan lokal tetap niscaya dilakukan. Masyarakat
adat daerah memiliki kewajiban untuk kembali kepada jati diri mereka melalui
penggalian dan pemaknaan nilai-nilai luhur budaya yang ada sebagai sumber daya
kearifan lokal. Upaya ini perlu dilakukan untuk menguak makna substantif
kearifan lokal, di mana masyarakat harus membuka kesadaran, kejujuran dan
sejumlah nilai budaya luhur untuk sosialisasikan dan dikembangkan menjadi
prinsip hidup yang bermartabat. Misalnya nilai budaya “Nemui-Nyimah” sebagai
kehalusan budi diformulasi sebagai keramahtamahan yang tulus dalam pergaulan
hidup. Piil Pesenggiri sebagai prinsip hidup niscaya terhormat dan memiliki
harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi, kreativitas dan
peranan yang bermanfaat bagi masyarakat, demikian juga dengan makna-makna
kearifan lokal nilai-nilai budaya lainnya. Kemudian pada gilirannya,
nilai-nilai budaya ini harus disebarluaskan dan dibumikan ke dalam seluruh
kehidupan masyarakat agar dapat menjadi jati diri masyarakat daerah. Keberadaan
Piil Pesenggiri merupakan aset (modal, kekayaan) budaya bangsa yang perlu
dilindungi dan dilestarikan untuk meningkatkan kesadaran jatidiri bangsa untuk
diteruskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan baik.
Dalam proses kompromi budaya, kearifan lokal bukan hanya
berfungsi menjadi filter ketika terjadi benturan antara budaya lokal dengan
tuntutan perubahan. Lebih jauh, nilai-nilai budaya lokal berbicara pada tataran
penawaran terhadap sumberdaya nilai-nilai kearifan lokal sebagai pedoman moral
dalam penyelesaian masalah ketika sebuah kebudayaan berhadapan dengan
pertumbuhan antagonis berbagai kepentingan hidup.
Sebagaimana contoh pada kehidupan masyarakat lokal, proses
kompromi budaya selalu memperhatikan elemen-elemen budaya lokal ketika
berhadapan dengan budaya-budaya yang baru. Elemen-elemen itu dipertimbangkan,
dipilah dan dipilih mana yang relevan dan mana pula yang bertentangan. Hasilnya
selalu menunjukkan wajah sebuah kompromi yang elegan, setiap elemen mendapatkan
tempat dan muncul dalam bentuknya yang baru sebagai sebuah kesatuan yang
harmonis.
Tentu saja terbentuknya kesatuan yang harmonis itu tidak
lepas dari hasil kompromi keadilan yang menyentuh kepentingan berbagai pihak.
Kepentingan-kepentingan yang dimaksud sangat luas cakupannya, tetapi secara
garis besar meliputi berbagai permasalahan yang berhubungan dengan kelangsungan
hidup manusia, terutama yang bersifat primer dan praktis. Bagi pembuat
kebijakan harus mampu memilah dan memilih proses kompromi yang menguntungkan
semua pihak, kemudian menyikapi, menata, menindak¬lanjuti arah perubahan
kepetingan-kepentingan itu agar tetap dalam prinsip kebersarnaan. Kebudayaan
sebagai lumbung nilai-nilai budaya lokal bisa menjadi sebuah pedoman dalam
upaya rnerangkai berbagai kepentingan yang ada secara harmonis, tanpa ada pihak
yang dikorbankan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini perlu dikaji tentang
pengertian kearifan lokal piil pesenggiri dan implementasinya yang berkaitan
dengan regulasi penataan harmonisasi kehidupan masyarakat, dapat diakomodasikan
dengan baik dalam perencanaan, pelaksanaan pembangunan kesejehtaraan dan
keadilan sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar