Sabtu, 05 Mei 2012

MANAJEMEN KONFLIK



MANAJEMEN KONFLIK MASYARAKAT

      Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukan adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.

      Menurut Ross (1993) bahwa manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.



      Sementara Minnery (1980: 220) menyatakan bahwa manajemen konflik merupakan proses, sama halnya dengan perencanaan kota merupakan proses. Minnery (1980: 220) juga berpendapat bahwa proses manajemen konflik perencanaan kota merupakan bagian yang rasional dan bersifat kreatif, artinya bahwa pendekatan model manajemen konflik perencanaan kota secara terus menerus mengalami penyempurnaan sampai mencapai model yang representative dan ideal

      Konflik merupakan fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat. Masyarakat desa pun tidak terlepas dari libatan fenomena tersebut. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sajogyo dan Sajogyo (1995) bahwa di masyarakat desa sering muncul peluang terjadinya pertengkaran dan peledakan peristiwa yang disebabkan oleh masalah-masalah tanah, kedudukan dan gengsi, sekitar hal perkawinan, perbedaan paham antara kaum tua dengan kaum muda tentang adat, dan perbedaan antara pria dan wanita.

      Mengingat konflik merupakan gejala yang serba hadir dalam masyarakat, maka konflik tidak mungkin dihilangkan, melainkan hanya dapat diatur mekanisme penyelesaiannya. Sesungguhnya konflik itu eksis didalam kehidupan mikro dan makro sosiologis masyarakat. Selama konflik tidak berpotensi kekerasan hal tersebut merupakan fenomena yang lumrah, namun apabila berpotensi terjadinya kekerasan akan berdampak negatif terhadap bangsa dan negara.

      Menangani konflik yang ada dalam masyarakat bukanlah pekerjaan yang mudah, terutama bagaimana memelihara konflik agar tetap berada pada kadar tertentu yang tidak membahayakan semua elemen. Oleh karena itu, seorang fasilitator/pendamping diharapkan mampu mencermati potensi-potensi konflik yang ada dalam masyarakat untuk kemudian dapat diarahkan kepada hal-hal yang bersifat konstruktif. Konflik yang sudah terjadi diharapkan dengan bantuan fasilitator dapat diselesaikan sehingga tidak terjadi hal-hal yang bersifat anarkis atau destruktif. Untuk itu diperlukan pengetahuan dan pemahaman manajemen konflik untuk kemudian dapat diterapkan dalam aktivitas pekerjaannya sebagai fasilitator/ pendamping masyarakat. Manajemen konflik adalah suatu penanganan proses pembentukan (kemunculan) konflik yang diarahkan untuk meningkatkan kinerja suatu kelompok masyarakat atau organisasi.

      Konflik merupakan fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat. Masyarakat desa pun tidak terlepas dari libatan fenomena tersebut. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sajogyo dan Sajogyo (1995) bahwa di masyarakat desa sering muncul peluang terjadinya pertengkaran dan peledakan peristiwa yang disebabkan oleh masalah-masalah tanah, kedudukan dan gengsi, sekitar hal perkawinan, perbedaan paham antara kaum tua dengan kaum muda tentang adat, dan perbedaan antara pria dan wanita.

       Mengingat konflik merupakan gejala yang serba hadir dalam masyarakat, maka konflik tidak mungkin dihilangkan, melainkan hanya dapat diatur mekanisme penyelesaiannya. Sesungguhnya konflik itu eksis didalam kehidupan mikro dan makro sosiologis masyarakat. Selama konflik tidak berpotensi kekerasan hal tersebut merupakan fenomena yang lumrah, namun apabila berpotensi terjadinya kekerasan akan berdampak negatif terhadap bangsa dan negara.

      Menangani konflik yang ada dalam masyarakat bukanlah pekerjaan yang mudah, terutama bagaimana memelihara konflik agar tetap berada pada kadar tertentu yang tidak membahayakan semua elemen. Oleh karena itu, seorang fasilitator/pendamping diharapkan mampu mencermati potensi-potensi konflik yang ada dalam masyarakat untuk kemudian dapat diarahkan kepada hal-hal yang bersifat konstruktif. Konflik yang sudah terjadi diharapkan dengan bantuan fasilitator dapat diselesaikan sehingga tidak terjadi hal-hal yang bersifat anarkis atau destruktif. Untuk itu diperlukan pengetahuan dan pemahaman manajemen konflik untuk kemudian dapat diterapkan dalam aktivitas pekerjaannya sebagai fasilitator/ pendamping masyarakat. Manajemen konflik adalah suatu penanganan proses pembentukan (kemunculan) konflik yang diarahkan untuk meningkatkan kinerja suatu kelompok masyarakat atau organisasi.

      Akhir-akhir ini Indonesia mengalami konflik horizontal di tengah-tengah masyarakat, dalam waktu beberapa konflik terjadi di 2 daerah, Konflik Ahmadiyah di cikeusik Padeglang  Banten dan kerusuhan pembakaran sekolah dan gereja di Temanggung di Jawa Tengah. Kedua konflik ini terjadi dikarenakan ketidakpuasaan ataupun karena adanya ketidaksenangan sekumpulan manusia terhadap sesuatu golongan ataupun beberapa golongan, dimana kerusuhan ini didahului denga tindakan anarkis yang didasarkan atas dasar agama. Mengapa Bangsa ini yang dahulu disebut sebagai Bangsa yang ramah tamah, suka menolong, dan memiliki rasa toleransi yang tinggi menjadi bangsa yang liar dan gampang tersulut emosinya

    

      Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa konflik terjadi dikarenakan adanya proses yang terjadi di kedua belah pihak yang masing-masing pihak terpengaruh secara negatif yang menimbulkan pertentangan di antara kedua belah pihak. Konflik di Cikeusik Padeglang Banten dan Konflik di Temanggung serta konflik-konflik lain yang ada di Indonesia lebih dikarenakan adanya proses terjadinya konflik yaitu adanya pertentangan, kalau di Cikeusik antara Pihak Ahmadiyah dan sekelompok oknum umat muslim, dan di Temanggung antara sekelompok oknum umat muslim yang tidak setuju atas vonis pengadilan sehingga menimbulkan amarahan dengan cara membakar sekolah kristen dan gereja.

 Sumber Konflik terjadi di tengah masyarakat disebabkan

1)      Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.

2)      Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

3)      Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.

4)      Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.

      Dari definisi manajemen konflik diatas saya ambil kesimpulan bahwa manajemen konflik tersebut harus ada proses dimana proses tersebut dilakukan ketika adanya input atau masukkan dari pihak-pihak yang bertikai dan pihak ketiga disini adalah sebagi pihak penengah atau pihak mediator yang merumuskan strategi penyelesaian konflik yang dirumuskan dalam suatu kesepakatan perjanjian yang menghasilkan suatu ketetapan atau keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak yang bertingkai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages

Friends