Sabtu, 17 November 2012

ABSTRAKSI



ANIMASI


Teknologi media terus berubah dari generasi ke generasi dan perubahan-perubahan tersebut mempengaruhi budaya dan kehidupan kita sehari-hari. Teknologi yang berkembang menghilangkan batas-batas negara, budaya dan organisasi, membuat dunia yang sebelumnya bertingkat-tingkat menjadi datar. Seiring dengan dunia yang mulai bergerak dari sistem vertikal (perintah dan kontrol) menjadi sistem horizontal (hubungan dan kolaborasi) untuk menciptakan nilai, dan seiring dengan tembok-tembok, langit-langit dan lantai-lantai yang membatasi kita hancur, masyarakat akan bertemu pada banyak perubahan dalam satu waktu (Straubhaar, LaRose, & Davenport, 2010).

Bentuk media konvensional bergabung dengan media-media baru dan hal tersebut akan mengubah pola konsumsi media, kehidupan dan lingkungan dimana kita tinggal. Teknologi media baru mempengaruhi kita dengan menyuguhkan gaya hidup yang baru, membuat pekerjaan-pekerjaan baru dan menghilangkan yang lain, menggeser kerajaan-kerajaan media, menuntut regulasi media yang baru dan memunculkan isu sosial baru yang unik (Friedman, 2007). Hal ini tidak akan terjadi dalam satu malam, tetapi peran-peran, kebiasaan, identital politik sampai peran pemerintah akan mempengaruhi bagaimana arus perubahan ini.
Perubahan-perubahan ini juga tidak sepenuhnya mengacu pada teknologi. Kreatifitas individual dan budaya kita mendorong bagaimana kita menggunakan teknologi yang tidak jarang berbeda dengan tujuan awal teknologi itu dibuat. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh teknologi begitu besar hingga pada poin dimana tidak hanya mengubah bagaimana kita berperilaku tetapi juga berpikir.

Salah satu dari peran media adalah media sebagai saluran. Melalui media, informasi datang dan pergi dan pesan-pesan dari berbagai macam sumber menjelajahi sudut-sudut dunia. Dalam penyampaian informasi dan pesan tersebut juga terdapat metode dan teknik yang beragam pula. Yang menarik dari teknik atau teknologi penyampaian pesan atau informasi dalam media adalah masing-masing memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Salah satu dari teknologi yang digunakan dalam media adalah teknologi animasi.
Teknologi animasi ini menjadi bahasan yang menarik, karena ketika kita melihat bagaimana teknologi animasi digunakan di banyak negara dengan berbagai macam manfaat—seperti dalam bidang kreatif penyiaran, periklanan, bisnis dan pendidikan—di Indonesia sendiri teknologi animasi ini masih cenderung asing dan jarang sekali dimanfaatkan. Padahal penggunaan teknologi animasi memiliki banyak kelebihan-kelebihan yang dapat digali lagi untuk diterapkan di negara ini.


jenis jenis animasi
 Animasi 3D (3 Dimensi )
Perkembangan teknologi dan komputer membuat teknik pembuatan animasi 3D semakin berkembang dan maju pesat. Animasi 3D adalah pengembangan dari
animasi 2D. Dengan animasi 3D, karakter yang diperlihatkan semakin hidup dan nyata, mendekati wujud manusia aslinya. Semenjak Toy Story buatan Disney (Pixar Studio), maka berlomba¬lombalah studio film dunia memproduksi film sejenis. Bermunculanlah, Bugs Life, AntZ, Dinosaurs, Final Fantasy, Toy Story 2, Monster Inc., hingga Finding Nemo, The Incredible, Shark Tale. Cars, Valian. Kesemuanya itu biasa juga disebut dengan animasi 3D atau CGI (Computer Generated Imagery).

Stop motion animation
Animasi ini juga dikenali sebagai claymation kerana animasi ini menggunakan clay (tanah liat) sebagai objek yang di gerakkan.
Teknik ini pertama kali di perkenalkan oleh Stuart Blakton pada tahun 1906.
Teknik ini seringkali digunakan dalam menghasilkan visual effect bagi filem-filem era tahun 50an dan 60an. Film Animasi Clay Pertama dirilis bulan Februari 1908 berjudul, A Sculptors Welsh Rarebit Nightmare. Untuk beberapa waktu yang lalu juga, beredar film clay yang berjudul Chicken Run..
Jenis ini yang paling jarang kita dengar dan temukan diantara jenis lainnya. Meski namanya clay (tanah liat), yang dipakai bukanlah tanah liat biasa. Animasi ini memakai plasticin, bahan lentur seperti permen karet yang ditemukan pada tahun 1897. Tokoh-tokoh dalam animasi Clay dibuat dengan memakai rangka khusus untuk kerangka tubuhnya, lalu kerangka tersebut ditutup dengan plasficine sesuai bentuk tokoh yang ingin dibuat. Bagian-bagian tubuh kerangka ini, seperti kepala, tangan, kaki, disa dilepas dan dipasang lagi. Setelah tokoh-tokohnya siap, lalu difoto gerakan per gerakan. Foto-foto tersebut lalu digabung menjadi gambar yang bisa bergerak seperti yang kita tonton di film. Animasi ini agak sukar untuk dihasilkan dan memerlukan kos yang tinggi.
  
Animasi jepang (Anime)
dibanding dengan buatan eropa. Anime mempunyai karakter yang berbeda dibandingkan dengan animasi buatan eropa. Salah satu film yang terkenal adalah Final Fantasy Advent Children dan Jepang sudah banyak memproduksi anime. Berbeda dengan animasi Amerika, anime Jepang tidak semua diperuntukkan untuk anak-anak, bahkan ada yang khusus dewasa

10 teknik pembuatan animasi


1.animasi cel
2.animasi frame
3.animasi sprite
4.animasi path
5.animasi spline
6.animasi vektor
7.morphing
8.animasi clay
9.animasi digital
10.animasi karakter

PENGGUNAAN  TEKNOLOGI ANIMAS DALAM BIDANG KREATIF
Istilah ‘kartun Minggu pagi’ mungkin tidak asing untuk mereka yang familiar dengan kegiatan bangun pagi di hari libur. Ketika kita berbicara mengenai animasi, yang muncul di kepala orang-orang pada umumnya adalah kartun untuk anak-anak. Akan tetapi, animasi di masa kini sudah menembus batas kekanakan yang dirancang oleh kata ‘kartun’. Animasi kini muncul dengan menggerakan bentuk seni lain dengan cara yang inovatif sambil menjadi medium yang semakin tegas dengan tematis dan gaya. Pertama kali didefinisikan sebagai menggambar sebuah narasi dengan tangan, gambar demi gambar, kemudian memfoto hasilnya dan menghubungkan semuanya menjadi satu untuk memproduksi ilusi akan suatu gerakan, animasi dulu berfungsi tidak lebih seperti buku yang bisa dibolak-balik untuk menciptakan gerakan ketika anda membolak-balikkan halamannya. Gambar yang digenerasikan oleh komputer, atau CGI, mengubah semuanya. Menggunakan software yang canggih, animasi menampilkan keajaiban dan bukan hanya dalam film, tetapi juga dalam teater dan opera.
Semakin banyak penonton film yang berasal dari golongan dengan usia yang cukup tua, namun secara signifikan penonton film masih didominasi mereka yang berumur 30 tahun ke bawah (Dominick, 2005). Dengan melebarnya teknologi animasi ke ranah teater dan opera, kisaran usia penonton film secara umumpun bisa bertambah tinggi. Terdapat setidaknya dua variasi teater menggunakan teknologi animasi di akhir tahun 2008, yaitu Waves di akhir tahun 2008, yang diangkat dari The Waves milik Virginia Woolf yang berasal dari Teater Nasional Britania dan sebuah produksi The Damnation of Faust baru di Metropolitan Opera New York. Di Waves, para aktor dengan sibuk mengatur set, berganti kostum, membuat sound effects, membacakan narasi bahkan berganti peran dari waktu ke waktu, saat dalam waktu yang sama merekam masing-masing atau direkam oleh kamera statis yang terhubung ke komputer, dengan gambar diproyeksikan ke belakang mereka di atas layar. Efek ini cocok dengan novel Woolf, karena kegiatan yang dilakukan oleh para aktor (mengatur meja, makan, berganti pakaian), menjadi terlihat jauh dan menarik—mencerminkan perbedaan yang dibuat Woolf di dalam novelnya dan diary antara kehidupan sehari-hari dengan esensi dari realitas. Secara tidak langsung produksi ini tidak menggunakan animasi secara definitif, tetapi gambar yang diproyeksikan dan benda-benda dan tubuh aktor yang diedit menggunakan kemudahan dan kebebasan yang terdapat pada animasi. Di Indonesia, penggunaan animasi sampai tahap ini masih belum ada.

PENGGUNAAN TEKNOLOGI ANIMASI DALAM BINDANG PENDIDIKAN
Selain aplikasinya pada bidang kreatif, animasi juga digunakan sebagai salah satu cara yang diyakini dapat membantu mengembangkan pemahaman dan kemampuan berpikir. Dalam buku Teaching Visual Literacy (Nancy Frey & Douglas Fisher, 2008), mereka memberikan serangkaian strategi untuk membantu meningkatkan keterlibatan murid di dalam kelas dengan menggunakan alat yang jarang digunakan seperti buku berilustrasi, komik manga, novel grafis, dan sumber informasi visual lain dimana salah satunya adalah film dengan teknologi animasi seperti kartun atau anime. Di dalam buku tersebut dijelaskan bagaimana gambar mempengaruhi pemahaman kita. Kemudian bagaimana menggunakan ketertarikan murid terhadap animasi untuk memotivasi dan melibatkan mereka dalam pendidikan, mengambil perhatian mereka dan mengasah kemampuan berpikir kritisnya. Pendekatan menggunakan literatur visual dapat membantu murid yang memiliki keterbatasan mendemonstrasikan pengetahuan mereka. Kebanyakan dari mereka memiliki orientasi visual yang jelas, sehingga mereka akan lebih mengerti dan ingat mengenai isi dari pelajaran ketika mereka mampu melihatnya direpresentasikan secara visual. Tidak hanya di bahas di dalam buku ini, penggunaan animasi dalam sekolah ini juga disarankan dalam jurnal ilmiah oleh penulis yang sama, dengan spesifikasi penggunaan novel grafis, animasi dan Internet untuk sekolah menengah atas di perkotaan.
Penggunaan animasi—khususnya anime—dalam dunia pendidikan juga disebutkan dalam sebuah jurnal ilmiah yang berjudul “The Animated Classroom: Using Japanese Anime to Engage and Motivate Students” oleh Julie Ruble and Kim Lysne. Dari sini, dapat dilihat bahwa melalui animasi ini para murid dapat belajar dengan cara yang lebih menyenangkan mengenai pesan dan nilai budaya yang dibawa melalui anime. Pembahasan dari jurnal ini sangat berkaitan dengan penggunaan animasi sebagai salah satu media penyebar nilai dan budaya, yang pada umumnya digunakan oleh negara Jepang.
Di negara Jepang, teknologi animasi atau anime, menjadi bagian dari budaya negara itu sendiri sekaligus sebagai media penyebaran dan sosialisasi budaya Jepang. Anime, yang berbasis pada manga (komik jepang), merefleksikan realitas masyarakat Jepang, termasuk didalamnya mitos, kepercayaan, ritual, tradisi, fantasi dan gaya hidup masyarakat Jepang. Kemudian disini juga banyak sekali digambarkan fenomena sosial seperti tatanan sosial dan hirarki, seksisme, rasisme, paham mengenai umur, dan lain sebagainya. Ini adalah contoh dimana teknologi animasi dapat dimanfaatkan sebagai sarana sosialisasi nilai dan moral, sosialisasi budaya baik dalam negeri ataupun luar negeri.

PENGGUNAAN TEKNOLOGI ANIMASI DALAM BIDANG PERIKLANAN
Ditemukan beberapa studi yang membahas mengenai bagaimana pengaruh film animasi dan hubungannya dengan proses kognitif dan afektif manusia, yang dimana salah satunya adalah dengan membawanya dalam ranah iklan di televisi. Penelitian ini menunjukkan bahwa iklan-iklan dengan teknik animasi memberikan rangsangan yang tinggi terhadap konsumen dan meningkatkan ingatan akan iklan tersebut. Rangsangan yang tinggi itu dapat dibuat sedemikian rupa menjadi citra merek yang positif atau sikap positif terhadap iklan dan merek.
Animasi sudah menjadi tren periklanan kreatif dalam industri masa kini. Animasi dapat memperluas desain iklan dengan memberikan konten digital kedalam media yang berbeda seperti Internet, telepon genggam, dan televisi. Iklan dengan teknologi animasi dapat dengan efektif memberikan demonstrasi secara visual dan menunjukkan penilaian terhadap produk tersebut. Memahami hubungan antara iklan dengan teknologi animasi dan bagaimana mereka menstimulasi penonton atau respon emosional dan ekspektasi perilakunya menjadi penting ketika dihadapkan pada perusahaan-perusahaan yang berusaha untuk memahami konsumen dan ingin terus meningkatkan produknya menjadi lebih baik.

PENGGUNAAN TEKNOLOGI ANIMASI DALAM PERUSAHAAN
sekarang ini dunia animasi di Indonesia sedang ancur2an. Kenapa bisa gini. Alasan utamanya adalah karena kelebihan supply dari pada permintaan. Artinya jumlah para pekerja animasi semakin bertambah tetapi kebutuhan animasi di Indonesia tetap gitu2x aja. Menurut perhitungan gw kebutuhan animasi di dalam ph udah bisa dijawab dengan kehadiran perusahaan Post Production seperti Eltra Studio, Pyramid, Mirage, Double Click. Perusahaan animasi yang bisa hidup dengan cukup baik sejauh ini cuma 2 saja, yaitu Geppeto dan Epix. Sisanya mau gak mau harus hidup dari remah-remah yang tidak termakan oleh perusahaan tersebut.
Mengapa bisa terjadi demikian. Tidak lain karena dunia animasi di Indonesia cuma hidup dari pekerjaan yang disebut SHORT FORMAT animation alias animasi berdurasi pendek. Nah pasar paling besar dari SHORT FORMAT adalah iklan.
Bentuk SHORT FORM animation seperti iklan hanya membutuhkan sumber daya yang sedikit. Iklan2x dengan durasi 15-30 detik biasanya bisa dikerjakan hanya oleh 2-7 orang saja dengan pengerjaan antara 1 minggu hingga 1,5 bulan.
Kondisi ini mengakibatkan jenjang karir dalam dunia animasi lokal menjadi pendek. Artinya seorang owner (yang biasanya mantan animator) langsung menjadi kepala bagi animator2x di bawahnya. Pengembangan karir seorang animator menjadi terhambat, karena langkah karir seorang animator hanya menjadi 3 langkah saja: Junior animator, senior animator dan owner.
Semua orang pasti ingin punya kesempatan mengembangkan karirnya. Semua orang tentu ingin pendapatannya bertambah sesuai umur dan pengalaman. Dan pendapatan hanya bisa bertambah jika jenjang karir kita panjang.
Ambil contoh di perusahaan besar seperti Unilever, misalnya kita memulai karir sebagai junior, pada level ini yang dicari adalah pengalaman, jadi orang gak terlalu peduli dengan besarnya gaji, asal bisa hidup saja sudah cukup. Lalu naik menjadi staff tentu gaji bertambah, lalu naik lagi menjadi supervisor, gaji bertambah lagi. Naik menjadi manager, menjadi Direktur, dll...hingga kaya raya hehehe
Nah jenjang karir seperti inilah yang tidak dipunyai dunia animasi lokal. Kalau orang mau naik gaji otomatis dia harus mendirikan perusahaan sendiri. Apalagi animator itu khan termasuk golongan seniman. Golongan seniman adalah orang2x yang mandiri, cenderung egois (maaf ya jangan marah), gak terlalu suka diatur. Akibatnya pikiran utk segera mendirikan perusahaan sendiri menjadi hal yang umum di dunia animasi. Celakanya keinginan ini muncul tanpa didukung pengetahuan dan pengalaman berbisnis cukup.
Akibatnya bertebaranlah para freelancer yang membanjiri lebih dari 70% pasar animasi lokal. Nah para freelancer ini sering mengambil proyek tanpa melakukan perhitungan bisnis yang benar (misalnya memperhitungkan overhead di luar ongkos produksi). Akibatnya perusahaan2x menjadi sulit bersain dengan freelancer yang biasanya menaruh tarif jauh lebih murah dari perusahaan, karena beroperasi secara Independent.
Secara personal gw gak anti dengan freelancer. Gw juga pernah jadi freelancer kok.
Dan kondisi ini juga muncul secara natural, karena lebihnya supply dari permintaan. Cuman kondisi seperti hanya akan memperburuk karir animasi secara keseluruhan. Mengapa? Karena yang terjadi adalah proses banting harga gila2x yang dilakukan oleh semua pihak. Akibatnya banyak perusahaan animasi dan post production yang terpaksa tutup. Akibatnya industri hanya dipenuhi para freelancer yang tidak terikat bentuk apapun.
Kerugian terbesar dari bentuk industri seperti ini adalah terbatasnya kemampuan kita utk mengerjakan hal2x besar seperti film atau game. Karena bentuk2x karya seperti ini membutuhkan jumlah orang yang besar, dan tentu saja membutuhkan modal yang lebih besar dan juga  mentalitas yang berbeda dengan kondisi sekarang.
Dengan membanjirnya Freelancer, yang terbiasa lepas, akhirnya pada animator akan sulit diikat dalam bentuk korporasi yang memang diperlukan utk menghasilkan sesuatu yang besar. Semua orang sibuk dengan kepentingannya sendiri, sibuk bertengkar satu sama lainnya tanpa ada kesatuan pendapat. Karir juga menjadi terbatas karena pada akhirnya semua orang menyadari bahwa pendapatannya hanya akan mentok di angka tertentu. Kalau sudah gitu semua orang akan rame2x hengkang kaki dari industri ini karena putus asa. Akibatnya semakin terhambatlah perkembangan industri secara keseluruhan.
Nah kondisi inilah yang sekarang terjadi di Indonesia. Inilah jawaban mengapa sampai sekarang kita tidak pernah menghasilkan film animasi yang sukses secara komersial. Inilah mengapa perusahaan animasi banyak yang berhenti di tengah jalan. Dan semua pelakunya mengeluh karena "tidak mendapatkan apa2x"
Untuk menjawab masalah ini kita memerlukan lahirnya iklim koorporasi dimana perusahaan2x besar menjadi mercu suar yang menjadi tempat para animator berkiblat. Kita memerlukan perusahaan seperti Pixar, Dreamwork atau Gibli yang melakukan hal2x besar yang mengubah dunia. Perusahaan inilah yang menentukan arah industri dan menentukan standar tertinggi yang bisa dicapai oleh sebuah industri.
Kalau kita lihat di Amerika maka kita akan menemukan bahwa industri dikuasai oleh perusaaan besar yang menguasai 90% pasar. Sementara sisa 10% pasar diisi oleh kalangan independent yang melakukan usaha2x membawa industri ke arah yang lebih baik. Kalangan Independent inilah yang mencari alternatif di luar karya mainstream komersial yang akan mendobrak nilai2x mainstream di masa mendatang. Inilah bentuk balancing yang paling pas dari sebuah industri.
Yang terjadi di Indonesi adalah kebalikannya, dimana lebih dari 70% pelaku adalah kalangan independent, sementara koorporasi berusaha mati-matian utk bertahan. Kita perlu membalik keadaan ini jika benar2x ingin menjawab mimpi kita memajukan industri dan bersaing pada level dunia.
Mau gak mau kita harus berusaha mati2xan menghidupkan bentuk perusahaan besar di Indonesia. Mungkin gak banyak yang sadar kalau hal ini demikian penting. Utk itulah gw sendiri banyak menulis mengenai sisi bisnis dan karir yang gak banyak disadari oleh kalangan Animasi di Indonesia.     

IKLIM TEKNOLOGI ANIMAS INDONESIA
Keterbatasan infrastruktur dan masih minimnya apresiasi terhadap seni visual di Indonesia tidak banyak membantu berkembangnya teknologi animasi yang lebih jauh dalam bidang kreatif. Bahkan untuk film animasi dengan teknik komputer biasa saja masih jarang sekali ditemukan. Film animasi Indonesia yang sempat ada dulu juga tidak lagi ditayangkan secara umum. Dulu, sewaktu saya masih bersekolah dasar, terdapat film animasi Indonesia seperti Timun Mas dan Bawang Merah dan Bawang Putih, yang tersedia dalam bentuk DVD. Film animasi Indonesia yang eksistensinya cukup dikenal baru-baru ini adalah Meraih Mimpi (2009), namun sorotan publik juga tidak cukup untuk membuat mereka yang bekerja di produksi film animasi untuk tergerak kembali mengembangkan film animasi Indonesia pada saat itu. Film animasi berseri atau kartun ala Indonesia juga tidak ditemukan. Tetapi, setelah kemunculan Upin dan Ipin yang dibuat oleh negara tetangga kita, Malaysia, industri kreatif mulai tergerak untuk mengembangkan teknologi animasi lagi. Di TVRI pada tahun 2008 kemudian muncul kartun Kabayan Lip Lap yang asli dibuat oleh orang Indonesia.
Walaupun demikian, sebenarnya di Indonesia sudah cukup banyak acara dan komunitas yang berkaitan dengan teknologi animasi yang dapat diacungi eksistensi dan karyanya. Salah satu dari festival besar Indonesia untuk perayaan dan ajang unjuk gigi dalam membuat animasi adalah HelloFest Motion Picture Arts Festival yang diadakan setiap taun dari tahun 2004. Festival ini dari tahun ke tahun semakin besar dengan semakin banyak partisipan dalam pengumpulan film pendek dan animasinya. Terdapat pula sebuah video animasi yang dibuat oleh seorang animator dari Solo berjudul Lakon Pada Suatu Ketika, yang disebut-sebut sebagai ‘Harapan Animasi Indonesia’, melihat teknik animasinya yang tidak kalah dengan produksi film animasi ternama. Tidak hanya diakui di dalam negeri, animator Indonesia pun sudah ada yang terjun langsung ke Hollywood dalam pembuatan film animasi ‘Tintin’. Antusiasme akan perkembangan teknologi animasi juga ditunjukkan dari banyak pihak, salah satunya adalah seorang penulis novel, Andrea Hirata, yang menantikan bukunya dijadikan film atau seri animasi. Di daerah-daerah tertentu di Indonesia, seperti di Yogyakarta, bisnis game dan animasi mulai meningkat. Di Yogyakarta saat ini semakin banyak muncul komunitas game dan animasi lokal. Jika tren ini dipertahankan, bukannya tidak mungkin Indonesia akan menyusul negara-negara lain yang mengembangkan teknologi animasinya hingga sampai saat ini.




1 komentar:

Pages

Friends